Minggu, 18 September 2011

PEMBASMI KORUPSI


“KAMULAH PAHLAWAN PEMBASMI KORUPSI”
Kalimat yang tertulis di dinding kamarkun itulah, yang membuatku tetap semangat belajar. Maklum, saat ini merupakan masa– masa sibuk di kampus karena aku sedang mengerjakan skripsiku dalam bidang hukum, di salah satu universitas papan atas di indonesia. Kamen, itulah sapaan akrabku di kampus.
Sejak kecil aku bercita-cita ingin seperti ayahku, mengabdi untuk bangsa dan negara. Ayahku adalah seorang hakim yang sangat adil dalam setiap keputusanya di persidangan. Ayahku sempat masuk bui, namun bukan karena Ia melanggar hukum. Tetapi, karena ada politisi yang merasa terancam dengan posisi ayahku sebagai salah satu hakim ketua mahkama agung. Sehingga politisi itu, menyebar fitnah dan menuduh ayahku menerima suap. Itulah yang menyebabkan ayahku merasakan hidup dibalik jeruji.
 Ayahku masuk  bui sejak aku duduk di bangku SMP dua tahun kemudian, Ia bebas  dan dinyatakan tidak bersalah. Setelah bebas, Ayahku tak lagi mendapat kursi di pemerintahan, sehingga yang menjadi tulang punggung keluarga saat ini bukan lagi Ayah, melainkan kakak pertamaku. Herman ialah kakak pertamaku, saat ini dia sedang duduk sebagai salah satu anggota DPR-RI. Aku bisa kuliah di universitas ternama dengan biaya pendidikan super mahal itu semua berkat kakaku Herman.
Akhirnya, setalah hampir enam tahun bekerja keras di kampus, kini aku telah menjadi  menjadi seorang hakim. Hari ini, aku bisa tersenyum bahagia dan bergumam dalam hati “sesungguhnya setelah kesulitan pasti ada kemudahan”. Namun, aku tak boleh terlena dengan itu semua karena perjuangan belum berakhir dan masih banyak kesulitan lain yang harus kuhadapi esok. Benar saja, setelah aku meresapi secuil kemenagan dalam hidupku. Aku langsung mendaptkan tantangan baru yang selama ini aku tunggu kehadiranya. Tantangan itu ialah menjadi hakim ketua pada sidang kasus korupsi bulan depan.
Waktu begitu cepat berlalu, tantangan itu kini tinggal menghitung hari. Aku yakin pasti dapat bersikap adil di persidangan perdana nanti. Apalagi kasus yang akan aku tangani adalah kasus korupsi. Kasus korupsi merupakan sepesialisasiku saat kuliah jadi aku sangat menguasai hukum korupsi. Tinggal tujuh hari lagi, sikapku  sebagi hakim akan di uji. Malam itu, aku tidur dengan lelap di iringi dengan suara gemercik hujan yang tak begitu deras.
( suara TV ) “selamat pagi pemirsa dimanapu anda berada, anda sedang menyaksikan kabar pagi. Berita utama pagi ini kami rangkum dalam kabar utama.” Tdidi...ding..ng....
Sesaat setelah sholat subuh, aku menyaksikan berita pagi di salah satu stasiun televisi swasta Nasional. Aku sangat terkejut ketika melihat berita utama pagi itu, “ Herman caryono, terlibat kasus korupsi senilai lima miliyar rupiah, dan rencanaya sidang pertamanya di pengadilan tinggi Jakarta Selatan, di laksanakan minggu depan. Saat ini, Herman telah di amankan pihak kepolisian. Berita itu tak hanya membuatku terkejut, namun membuatku malu dan kecewa karena kakak yang selama ini aku banggakan ternyata seorang koruptor kelas kakap.
Inilah keputusan terberat dalm hidupku, Apakah aku  rela untuk menjebloskan kakak yang sangat aku cintai ke balik jeruji besi atau Apakah aku rela untuk membebaskan koruptor dari hukuman  ?
Pertanyaan itu selalu muncul menjelang tidurku, sedang waktu terus berjalan tanpa menunggu tuk dapat berpikir panjang. Besok adalah hari persidangan dengan agenda kesaksian jaksa penuntut umum dan saksi dari terdakwa. Juga besok adalah babak final keputusan kepastian hukum kepada kakaku sebagai terdakwa. Malam ini, tak seperti malam seminggu yang lalu. Kini aku tak bisa tidur lelap lagi pertanyaan itu terus muncul di dalam kepalaku dan menanti jawaban yang pasti.
Pagi kini telah tiba, pukul enam pagi aku telah menuju kantor pengadilan meski sidang di mulai jam sembilan pagi. Maklum, bukan jakarta namanya jika tak macet. Tepat pukul delapan pagi aku telah sampai di pengadilan dan duduk di kursi hakim ketua. Aku masih bingung tinggal beberapa menit lagi aku harus mengambil keputusan, namun hingga sekarang keputusan yang tepat belum ku dapatkan. Apalagi media massa sering mengaitkan kasus ini dengan diriku.
Kini kursi kosong ruang sidang telah terisi penuh, di pojok depan aku melihat Ayah, Ibu, dan Adiku duduk. Mereka hadir untuk memberikan semangat kepada aku dan kakaku. Tepat pukul sembilan , aku membuka sidang dan membaca surat keputusan yang baru saja aku cetak beberapa menit yang lalu. Setelah menimbang, mengingat dan akhirnya aku memutuskan menjatuhkan hukuman selama 5 tahun penjara kepada terdakwa, sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum. Setelah memutuskan itu, aku melihat Ayahku mengangkat ibu jarinya dan tersenyum kepadaku. Kemudian menghampiriku dan berkata “ ITULAH KEPUTUSAN YANG TERBAIK AKU BANGGA PADAMU”


2 komentar:

  1. Wah ada mail..
    Komentar dikit il, kalo menurut gw masih banyak perbendaharaan kata rancu yang mesti lu tinjau lagi khususnya di awal-awal cerita. Nice job anyway!

    BalasHapus
  2. bahasanya banyak yang masih kurang EYDnya, tetap semngat kawan!!

    BalasHapus